Minggu, 26 Juli 2015

Rukun dan Syarat Perkawinan Menurut KHI

RUKUN DAN SYARAT PERKAWINAN MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada tanggal 10 Juni 1991, Presiden Republik Indonesia; Soeharto telah mengeluarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia dengan Nomor 1 Tahun 1991 yang inti dari isi INPRES tersebut adalah menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang terdiri dari tiga (3) buku, yaitu Hukum Perkawinan, Kewarisan, dan Perwakafan.
Selanjutnya KHI ini dijadikan sebagai pedoman di dalam menetapkan perkara-perkara yang berhubungan dengan tiga masalah yang terkandung di dalam KHI tersebut yang dialami oleh orang Islam. Ini telah ditetapkan oleh Menteri Agama di dalam keputusannya tentang pelaksanaan INPRES Nomor 1 Tahun 1991 tersebut.
Oleh karena itu, KHI menjadi bagian penting di dalam kehidupan maysarakat muslim di Indonesia. Sebagaimana yang telah diterangkan, KHI mengandung tiga (3) pembahasan. Salah satu yang paling utama dan yang paling penting dalam kehidupan muslim adalah buku pertamanya yaitu tentang Perkawinan.

B. Pokok Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, Pokok Masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
1. Kajian KHI Pasal 14;
2. Kajian KHI Pasal 15-18;
3. Kajian KHI Pasal 19-23;
4. Kajian KHI Pasal 24-26;
5. Kajian KHI Pasal 27-29.

C. Metode Penelitian
Untuk mendapatkan hasil yang sesuai dengan harapan yang diidam-idamkan, dalam penelitian makalah ini, penulis menggunakan penelitian dengan metode penelitian normatif yuridis yang meliputi:
1. Pendekatan Masalah
Cara ini adalah dengan meneliti setiap pasal-perpasal yang dapat diakses dengan pendekatan kajian pustaka (library research) yang dicantumkan dalam KHI. Secara subsider, peneliti akan menimbang apakah mungkin terjadi kesalah-fahaman antara isi dari pasal tersebut.
2. Analisis Data
Apabila penulis tidak menemukan sumber pasal tersebut yang dapat diakses, maka penulis akan mengkajinya dengan aturan yang berlaku. Batasan penulis di dalam menghukumi rusaknya pasal tersebut hanya akan diputuskan apabila ia ternyata telah menyalahi ijmak ulama terdahulu sebagaimana larangan di dalam menyalahi ijmak di dalam Islam.
3. Sumber Data
Sebagai sumber hukum dalam melengkapi makalah ini dibutuhkan bahan hukum yang bersifat sekunder yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang atau dokumen rasmi pemerintah Republik Indonesia yang berkaitan dengan perkawinan, buku-buku lainnya yang mendukung, dan buku-buku penjelasan UU perkawinan serta KHI yang dapat diakses.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Kajian KHI Pasal 14 Tentang Rukun
Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang Rukun dan Syarat Perkawinan Bab IV Pasal 14 telah tertulis sebagai berikut:
Pasal 14
Untuk melaksanakan perkawinan harus ada :
a. Calon Suami;
b. Calon Isteri;
c. Wali nikah;
d. Dua orang saksi dan;
e. Ijab dan Kabul.
Lima perkara yang ditetapkan oleh KHI ini adalah sesuai dengan Syariat Islam. Akan tetapi, Dr. Wahbah al-Zuhaylî mengkritisi, bahwa rukun nikah pada dasarnya hanya ada empat: shîghat, calon istri, calon suami, dan wali. Calon suami dan wali merupakan orang yang melakukan akad nikah. Manakala perkara yang diakadkan adalah kenikmanat seksual yang dicari suami dan istri dalam pernikahan. Sedangkan mahar sama seperti saksi dalam pernikahan, yang hanya menjadi syarat sebuah pernikahan dengan argumentasi diperbolehkannya melakukan nikah.

B. Kajian KHI Pasal 15-18 Tentang Calon Mempelai
Pasal 15 angka (1) Kompilasi Hukum Islam yang mengatur calon mempelai pula menyatakan sebagai berikut:
Pasal 15
(1) Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No.1 tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.
Menurut ketentuan di dalam Pasal 15 ini, secara jelas KHI telah membatasi umur calon mempelai (calon suami dan istri), sesuai dengan Undang-Undang yang berada di atasnya yaitu UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 7 angka (1).
Ibn Syubramah, Abû Bakar al-`Asham, dan ‘Ustmân al-Batî; berpendapat bahwa anak kecil baik lelaki atau wanita itu tidak dibenarkan kawin sehingga mereka baligh. Seumpama diperbolehkan menikahkan mereka sebelum baligh, maka tidak akan memiliki manfaat didalam perkawinan, karena mereka tidak ada kebutuhan untuk melakukan pernikahan.
Jadi, KHI pada dasarnya mengambil pendapat minoritas yaitu Ibn Syubramah, Abû Bakar al-`Asham, dan ‘Ustmân al-Batî. Hanya saja, pendapat minoritas ini belum menetapkan batasan umur, akan tetapi hanya batasan baligh. Sedangkan baligh ketentuannya bukan hanya umur, akan tetapi bisa saja dengan keluarnya mani atau mulai haid bagi perempuan. Kalau ditinjau secara umur, pendapat ulama secara umumnya terbagi menjadi dua pendapat, yaitu 15 tahun dan 18 tahun.
Dr. Wahbah al-Zuhaylî mendokumentasikan undang-undang Syuriah yang secara spesifik menyatakan bahwa syarat pernikahan haruslah kedua mempelai telah mencapai umur baligh, yaitu 18 tahun bagi lelaki dan perempuan. Ini adalah karena untuk menjaga kedudukan masyarakat (menjaga pola social) dan juga memandang kepada tanggungjawab yang besar ke atas orang yang nikah tersebut. Kerajaan Negeri Selangor, Malaysia juga memberi batasan tersebut seperti Enactment sebagai berikut:
8. Minimum age for marriage. No marriage may be solemnized under this Enactment where either the man is under the age of eighteen or the woman is under the age of sixteen except where the Syarie Judge has granted his permission in writing in certain circumstances.
Walau bagaimanapun, pembatasan ini pada dasarnya tidak ditetapkan secara mutlak. Akan tetapi, orang yang terkait dapat meminta izin seperti pernyataan yang terdapat di dalam Enactment tersebut. Begitu juga dengan undang-undang Syuriah dan KHI seperti Pasal 15 angka (2) KHI:
Pasal 15
(2) Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapati izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) UU No.1 Tahun 1974.
Dalam hal ini, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5) menyatakan seperti ini:
Pasal 6
2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
3) Dalam hal seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan ijin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.
Ternyata KHI (yang mengacu pada UU No. 1 Tahun 1974), undang-undang Syuriah, dan Enactment di Negeri Selangor sekalipun tidak berani menetapkan sesuatu yang bukan syariat secara mutlak. Undang-undang ini masih memberi ruang bagi orang yang sudah benar-benar dianggap baligh walaupun belum mencapai umur baligh dengan ketentuan orang yang bersangkutan haruslah melaporkan dan memohon kepada pengadilan. Perkara ini ditegaskan Dr. Wahbah al-Zuhaylî tujuannya adalah demi menjaga kemaslahatan pemuda-pemudi dalam hal keprawanan dan keperjakaan di dalam pernikahan, dan menjaga mereka daripada terjadi penyimpangan.
Pasal 16 dan 17 Kompilasi Hukum Islam pula menyatakan sebagai berikut:
Pasal 16
(1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai.
(2) Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas.
Pasal 17
(1) Sebelum berlangsungnya perkawinan Pegawai Pencatat Nikah menanyakan lebih dahulu persetujuan calon mempelai di hadapan dua saksi nikah.
(2) Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan.
(3) Bagi calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna rungu persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti.
Muhammad Qadrî Bâsyâ telah menjadikannya sebagai hukum materiil di dalam hukum keluarga Kerajaan Turki Utsmani (sejenis KHI di Kerajaan Turki Utsmani). Bagi Pasal 16 angka (2) jo Pasal 17 angka (3) pula, terdapat di hukum materiil Muhammad Qadrî Bâsyâ ini. Hanya saja, ia tidak menetapkan atau menyinggung sama sekali tentang persetujuan dengan cara tulisan.
Selanjutnya Pasal 18 Kompilasi Hukum Islam telah menetapkan sebagai berikut:
Pasal 18
Bagi calon suami dan calon isteri yang akan melangsungkan pernikahan tidak terdapat halangan perkawinan sebagaimana diatur dalam Bab VI.
Sedangkan di dalam Bab VI mengatur tentang larangan kawin dengan alasan seperti pertalian nasab, sesusuan dan lain-lain.

C. Kajian KHI Pasal 19-23 Tentang Wali Nikah
Pada Pasal 19 KHI menegaskan setegas-tegasnya sebagai berikut:
Pasal 19
Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.
Maka dari itu, KHI secara tegas mewajibkan adanya wali dalam pernikahan. Selanjutnya, KHI menetapkan pada Pasal 20 sebagai berikut:
Pasal 20
(1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh.
(2) Wali nikah terdiri dari :
a. Wali nasab;
b. Wali hakim.
Untuk mengatur siapa saja yang menjadi wali bagi seorang perempuan bagi ketentuan Pasal 20 angka (2) huruf (a), maka Pasal 21 KHI mengatur sebagai berikut:
Pasal 21
(1) Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dan kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita.
Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.
Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka.
Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka.
Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka.
(2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.
(3) Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatan maka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah karabat kandung dari kerabat yang seayah.
(4) Apabila dalam satu kelompok, derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama dengan kerabat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.
Selanjutnya Pasal 22 KHI pula mengantisipasi status wali nikah yang telah disebutkan dari segi kemampuan yang mereka miliki sebagai berikut:
Pasal 22
Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya.
Ketetapan perpindahan kewalian apabila wali yang lebih berhak tidak memenuhi syarat, itu adalah sesuatu yang sudah maklum. Dari pernyataan ini, KHI telah memasukkan tuna wicara dan tuna rungu sebagai salah satu dari penyakit yang dapat merusak penalarannya bagi berbagai perkara menjadi rusak.
Setelah membahas ketentuan wali nasab, KHI Pasal 23 pula membahas persoalan wali hakim seperti ketentuan yang telah disebutkan sebagai berikut:
Pasal 23
(1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan.
(2) Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut.
Bagi Pasal 23 angka (1), bermaksud bahwa wali hakim hanya dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab itu tidak ada, tidak mungkin menghadirkannya, tidak diketahui tempat tinggalnya, gaib, atau adlal (enggan/tidak mau menikahkan).
Pasal 23 angka (2) pula merupakan ketetapan mandat seseorang sebagai wali hakim. Dalam hal ini, ketentuan Psal 23 angka (2) menetapkan wali hakim yang biasanya dipegang oleh KUA hanya boleh bertindak sebagai wali hakim apabila ada putusan dari Pengadilan Agama.

D. Kajian KHI Pasal 24-26 Tentang Saksi Nikah
Setelah KHI membahas ketentuan wali dalam pernikahan, KHI beranjak pada permasalahan saksi nikah yang mana ia sebagai salah satu dari rukun nikah seperti yang telah diterangkan. Dalam hal ini, Pasal 24 KHI menyatakan:
Pasal 24
(1) Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah.
(2) Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi.
Kompulasi Hukum Islam meneruskan ketentuan bagi saksi nikah dengan Pasal 25 sebagai berikut:
Pasal 25
Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, aqil baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli.
Akan tetapi, ternyata KHI telah meninggalkan ketentuan tidak tuna netra (boleh seorang tuna netra menjadi saksi nikah) karena sebuah kesaksian orang yang tuna netra bisa sah apabila ia mendengar kata-kata kedua orang yang berakad, dan dapat membedakan suara keduanya yang tidak memiliki keraguan sama sekali, karena tuna netra adalah orang yang cakap sebagai saksi. Kesaksian di dalam pernikahan adalah berdasarkan ucapan (bukan penglihatan seperti tindak pidana). Maka kesaksiannya tetap sah sebagaimana kesaksian di dalam muamalah.
Ketentuan terakhir bagi saksi nikah yang diatur oleh KHI adalah Pasal 26 sebagai berikut:
Pasal 26
Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan ditempat akad nikah dilangsungkan.
Dalam pasal ini, kehadiran saksi untuk menyaksikan secara langsung akad nikah dapatlah difahami. Akan tetapi, ketentuan Pasal 26 yang menyebutkan “serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan” perlu untuk dibahas lebih dalam.
Telah terjadi perbedaan pendapat tentang pencatatan pernikahan di kalangan ulama kontemporer yaitu :
a. Ia tetap sah walaupun tidak dicatat di lembaga pemerintah. Alasan yang dikeluarkan pendapat ini adalah karena melihat apabila syarat dan rukun sesuatu itu telah terpenuhi.
b. Pencatatan pernikahan menjadi syarat sebuah pernikahan karena melihat dari sisi kemaslahatan bagi kedua mempelai. Tanpa akta nikah, dikhawatirkan hak-hak suami-istri tidak dapat dibela di pengadilan karena kurangnya bukti bahwa mereka berada di dalam pernikahan yang sah. Dengan adanya akta nikah, sebuah pasangan dapat pergi ke mana saja tanpa perlu membawa saksi hidup pernikahan mereka untuk membuktikan bahwa mereka adalah suami-istri yang sah.
Kesimpulan dari ini, dengan barbagai perbedaan pendapat, pencatatan nikah dan/atau penandatangan saksi di akta nikah adalah wajib secara syar’î. Akan tetapi, apabila tidak dipenuhi (tidak melakukannya) maka pernikahan tersebut tidak akan rusak secara syar’î, Pemerintah juga berhak menganggap ia belum berstatus menikah selagi tidak didatangkan saksi yang sesuai dengan ketentuan syariat.

E. Kajian KHI Pasal 27-29 Tentang Akad Nikah
Bagian terakhir dari Bab IV KHI tentang syarat dan rukun perkawinan, adalah pembahasan akad nikah. Dalam hal ini, Pasal 27 KHI menetapkan sebagai berikut:
Pasal 27
Ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu.
Dalam ketentuan tidak berselang waktu, ini ditegaskan ulama dengan ketentuan “berada di satu majlis” Yang dimaksud dari istilah ini adalah adanya ijab dan kabul itu berada di dalam satu majlis, bukan dari dua majlis yang berbeda. Alasan ini dikarenakan, syarat terjadi pertalian adalah dalam waktu yang sama.
Selanjutnya KHI mengatur persoalan wakil wali dalam akad nikah tersebut dengan Pasal 28 sebagai berikut:
Pasal 28
Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan. Wali nikah dapat mewakilkan kepada orang lain.
Konsep Pasal 28 ini adalah suatu ketentuan yang sudah umum di dalam syariat Islam. Seorang wali boleh mewakilkan kepada orang lain, baik ia berada di majlis akad maupun tidak. Akan tetapi, kalau ia mewakilkan dan berada di majlis tersebut, ia (wali) tidak boleh menjadi saksi. Kalau sampai ia menjadi saksi, maka rusaklah akad tersebut.
Pasal terakhir yang mengatur persoalan rukun dan syarat perkawinan adalah Pasal 29 KHI. Dalam pasal ini, ia mengatur tentang calon memperlai pria dalam akad tersebut sebagaimana berikut:
Pasal 29
(1) Yang berhak mengucapkan kabul ialah calon mempelai pria secara pribadi.
(2) Dalam hal-hal tertentu ucapan kabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria.
(3) Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakili, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan.
Dalam konteks ijab dan Kabul pada dasarnya mengacu pada konsep akad-akad yang lain seperti jual beli.[69] ijab adalah sesuatu yang keluar awalnya dari salah satu orang yang berakad, baik suami atau istri. Sedangkan kabul adalah sesuatu yang keluar kedua dari pihak yang lain pula.
Pasal 29 angka (2) pula merupakan konsep wakil yang sudah maklum, syarat bagi perkara yang diwakilkan, salah satunya adalah perkara tersebut menerima untuk digantikan oleh orang lain. Dalam hal ini, semua akad itu sah untuk diwakilkan kecuali ibadah seperti solat.
Pasal 29 angka (3) yang menetapkan seumpama calon wanita atau wali keberatan nikah tersebut diwakilkan, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan yaitu keputusan pernikahan harus didasarkan atas persetujuan calon mempelai, sama seperti yang telah termaktub di Pasal 16 KHI jo Pasal 17 KHI. Seperti apa yang telah dijelaskan, pasal ini adalah yang mensyaratkan persetujuan dari pihak wanita.

BAB III
KESIMPULAN

Setelah membahas secara mendalam, maka kesimpulan yang didapatkan adalah sebagai berikut:
1. Pasal 14 KHI adalah sesuai dengan Hukum Syariat Islam.
2. Pasal 15-18 KHI bertentangan dengan pendapat mayoritas ulama, akan tetapi ia mengacu pada pendapat Ibn Syubramah dan lain-lain, maka ia tetap sesuai syariat islam. Maka Pasal 15-18 KHI jelas-jelas sesuai dengan Hukum Syariat Islam.
3. Pasal 19-23 KHI sesuai dengan pendapat mayoritas para ulama, Maka Pasal 19-23 KHI adalah tidak bertentangan dengan Hukum Syariat Islam sama sekali.
4. Pasal 24-26 KHI diambil dari kesepakatan para ulama, hanya saja masalah tandatangan, KHI mengacu pada konsep pencatatan nikah berdasarkan al-maslahah al-mursalah dan konsep taat pemerintah menurut kitab Bughyah al-Mustarsyidîn. Maka Pasal 24-26 KHI adalah memiliki dasar Hukum Syariat Islam.
5. Pasal 27-29 KHI adalah merupakan kesepakan mayoritas para ulama, hanya saja masalah berbentuk tulisan itu mengacu pada konsep akta nikah yang telah lewat. Maka Pasal 27-29 KHI adalah sesuai dengan kaca mata Hukum Syariat Islam.

Tidak ada komentar: